Candi Jabung merupakan salah satu candi yang bercorak agama Buddha di Jawa Timur
Perkembangan Agama Buddha di Jawa Timur
Setelah terjadinya
bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan
landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula.
Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sendok membangun kembali kerajaan
ini di Watugaluh (wilayah antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis), Jawa Timur.
Mpu Sendok naik tahta kerajaan pada tahun 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan
yang didirikan Mpu Sendok ini tetap bernama Mataram dengan demikian Mpu Sindok
dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Ia memerintah dibantu
permaisurinya, Sri Wardhani Kbi. Saat pemerintahannya,
kehidupan beragama berjalan baik. Meski beragama Hindu, tapi Mpu Sendok
memperhatikan penggubahan kitab Budha Mahayana menjadi kitab Sang Hyang
Kamahayanikan.
a. Mpu Sendok dan Dinasti Isyana
Mpu Sendok adalah raja pertama Medang Kemulan. Gelarnya adalah Sri Maharaja
Rakai Hino Sri Isyana Wikrama Dharmatunggadewa. Memerintah selama + 20
tahun. Dinasti Isyana. Istilah Isyana berasal
dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah
menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Berdasarkan
agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya, pendiri
Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu
Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa
sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk
menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu
Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya. Kerajaan
Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van
Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju
Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua
istana baru itu terletak di daerah Jombang sekarang. Mpu Sindok tidak hanya
memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan
dinasti baru bernama Wangsa Isyana.
Dalam Kerajaan Medang hanya ada satu
dinasti saja, yaitu Wangsa Syailendra, yang semula beragama Hindu. Kemudian
muncul Wangsa Syailendra terpecah dengan munculnya anggota yang beragama
Buddha. Dengan kata lain, versi ini berpendapat bahwa Mpu Sindok adalah anggota
Wangsa Syailendra yang beragama Hindu Siwa, dan yang memindahkan istana
Kerajaan Medang ke Jawa Timur. Silsilah Keluarga Silsilah Wangsa Isyana
dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja
yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat
tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya. Cikal
bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana.
Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran
Bali bernama Sri Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang
kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Ayah
dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti,
nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum
suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi
daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa.
Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung
(sekitar tahun 890–900–an) Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja
bernama Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan
cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana.
Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa
dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa. Dengan demikian, Dharmawangsa
dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak
menyebutnya dengan pasti.
b. Agama Buddha di Kerajaan
Kediri dan Singasari
Kerajaan Kediri
Raja Sri
Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang bergelar Sri
Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai titisan Dewa
Wisnu seperti Airlangga. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah Bameswara. Dalam
kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja, diceritakan bahwa Raja
Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana yang menikah dengan Chandra
Kirana, putri Jayabhaya. Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara
Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parkrama Digjayotunggadewa
Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, terjadi perang saudara ini
diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu
Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara tersebut
sehingga wilayah Kediri berhasil disatukan lagi dengan wilayah Jenggala.
Peristiwa kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti Ngantang. Pengganti
Jayabhaya yaitu Sarweswara dari Aryyeswara, tidak banyak diketahui. Raja
berikutnya adalah Gandra. Pada masa pemerintahannya, Gandra menyempurnakan
struktur pemerintahan yang diwariskan Kerajaan Medang Kemulan.
Para pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama
hewan, seperti Gajah atau Kebo. Penggunaan nama-nama tersebut
menjadi tanda pengenal kepangkatan tertentu di Kerajaan Kediri. Setelah Gandra,
pemerintahan Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan
Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa. Pada masa pemerintahannya,
cerita-cerita panji atau kepahlawanan. Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah
Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya, Kediri mulai mengalami
masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha membatasi dan
mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di daerah Tumapel
(sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok.
Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju
Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara
Kerajaan Kediri untuk menyerbu Tumapel.Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken
Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan
kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Kerajaan
Kediri.
Kerajaan
Singasari
Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa
Timur adalah kitab-kitab kuno, seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja)
dan Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja. Kerajaan
Singasari dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa
di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya
dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun,
dalam pertempuran di Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian,
Ken Arok menyatukan Kerajaan Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan
Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa
di Jawa Timur.
Dari istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken
Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji
Wregola, dan Dewi Rambi. Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok
mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wong ateleng, Panji Sabrang, Agni
Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki seorang anak tiri, yaitu
Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul ametung dan Ken Dedes. Tunggul
Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok.
Pada tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir
ketika ia dibunuh oleh anak tirinya Anusapati, sebagai balas dendam terhadap
kematian Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris
Mpu Gandring yang di pakai untuk membunuh Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok
dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari). Setelah Ken Arok wafat, Anusapati
yang bergelar Amusanatha, naik tahta sebagai raja kedua Kerajaan Singasari.
Anusapati memerintah sampai tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya
dibunuh oleh Anusapati, merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh
Anusapati juga dengan mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi
Kidal. Tohjaya kemudian mengantikan Anusapati menjadi Raja di Kerajaan
singasari pada tahun 1248. Ia tidak lama memerintah karena terjadi
pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Sinelir dan Rajasa yang
digerakkan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dibantu oleh Mahisa
Cempaka, anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama. Pemberontakan
Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya dengan tombak.
Tohjaya berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi
akhirnya meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan
Singasari kembali kosong.
Setelah tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada
tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah
membantunya merebut tahta, memperoleh anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya,
pejabat terpenting kedua di Kerajaan Singgasari dengan gelar Narasinghamurti.
Pada tahun 1254. Wishnuwardhana menobatkan anaknya yang bernama Kertanegara
sebagai Yuwaraja atau Kumararaja (Raja Muda). Kertanegara
mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268. Ketika Wishnuwardhana
meninggal di Mandaragiri, ia dimuliakan di dua tempat yang berbeda. Di Candi
Jago (Jajaghu) sebagai Buddha Amoghapasha dan di Candi Weleri sebagai
Siwa.
Setelah ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda
langsung dinobatkan sebagai Raja Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan,
Kertanegara dibantu oleh tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan i Hino,
Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu. Dibawah ketiga Mahamantri,
masih terdapat pula tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan Apatih,
Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan. Untuk mengatur soal
keagamaan, diangkat pejabat yang disebut Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
Raja Kertanegara adalah raja yang terkenal dan
terbesar dari kerajaan Singasari. Ia mempunyai semangat Ekspansionis.
Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar Pulau Jawa
yang disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia
mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut
sebagai ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu
berhasil di taklukan tahun1260. Peristiwa ini diabadikan pada alas patung
Amoghapasha di Padangroco (Sungai Langsat) yang berangka tahun 1286.
Raja Melayu saat itu, Tribhuwana atau Raja
Mulawarmandewa, beserta rayatnya menyambut hadiah itu dengan suka cita. Hal ini
menunjukkan bahwa Kerajaan Melayu secara resmi berada dibawah kekuasaan Raja
Kertanegara. Kertanegara juga membawa putrid Melayu kembali ke Singasari untuk
dinikahkan dengan salah seorang bangsawan Singasari. Tujuh pengiriman arca dan
penaklukan Kejaan Melayu adalah untuk menghadang rencana perluasan kekuasaan
Kaisar Kubilai Khan dari Cina. Diceritakan bahwa sudah beberapa kali
utusan dari Cina dating ke Kerajaan Melayu menurut pengakuan untuk tunduk
kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan sebagai
pernyataan tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau
utusan sebagai pernyataan tunduk.
Pada tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K’i dikirim
pulang ke Cina sehingga Kaisar Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan
untuk menyerang Kerajaan Singasari. Sebagian besar pasukan Kerajaan Singasari
sedang dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara
itu, Raja Jayakatwang di Kerajaan Kediri yang menjadi bawahan Kerajaan
Singasari melihat kesempatan yang baik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun
1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota
Kerajaan Singasari.Menurut cerita, pada saat serangan musuh datang, Raja
Kertanegara beserta para pejabat dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana
sehingga dapat dengan mudah mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari
akhirnya berhasil direbut oleh Jayakatwang, Raja Kediri.
c.
Prasasti Kanjuruhan dan
Prasasti Gunung Bukit
Prasasti
kanjuruhan
Kanjuruhan
adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di
dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6
Masehi (masih sezaman dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor
sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya
yang terkenal adalah Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi
Wurung.Kerajaan Kanjuruhan menurut para ahli purbakala berpusat dikawasan
Dinoyo Kota Malang sekarang. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kanjuruhan
ini adalah Prasasti Dinoyo yang saat ini berada di Museum Jakarta. Prasasti
Dinoyo ditemukan di Desa Merjosari 5 Km sebelah Barat Kota Malang. Prasasti
Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan
bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah
cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun
682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa
keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :