A. Latar Belakang
Sebagian orang beranggapan bahwa filsafat adalah sesuatu hal yang tidak penting, bahkan sesuatu hal yang tabu untuk diperbincangkan. Pada dasarnya filsafat bukanlah hal yang buruk, karena filsafat itu sebenarnya adalah berfikir secara mendasar (Radikal), menyeluruh (holistik), dan spekulasi (spekulatif).
Perkembangan globalisasi dewasa ini menuntut seseorang, pemikir, cendekiawan, atau ilmuwan untuk dapat mengkaji permasalahan-permasalahan secara luas atau dari sudut pandang yang berbeda-beda. Kenyataan yang sering ditemui adalah pikiran manusia hanya terfokus atau terspesialisasi pada bidang-bidang kehidupan atau keilmuwan tertentu. Pemikiran yang cenderung terkotak-kotak, parsial, atau fragmented adalah wajar. Namun perlu disadari, manusia hidup pada suatu sistem besar yang saling terkoneksi satu dengan lainnya. Apabila, manusia tetap mengkhususkan diri dengan pemikirannya yang sempit, maka tidak tertutup kemungkinan dia akan menjadi seseorang yang fanatik, tidak berkembang. Sebuah fenomena yang terjadi di dunia harus disikapi dari kaca mata yang berbeda karena adanya suatu jalinan yang saling kait-mengkait. Dengan demikian ciri berpikir dari filsafat yaitu berpikir secara holistik dibutuhkan untuk mananggapi dan memecahkan suatu masalah demi mewujudkan suatu sistem kehidupan manusia yang seimbang secara batiniah dan rohani.
B. Definisi Berpikir.
Berpikir adalah proses yang intens untuk memecahkan masalah, dengan menghubungan satu hal dengan yang lain, sehingga mendapatkan pemecahan. Hal-hal yang akan dihubungkan tersebut belum tentu ada atau hadir di benak kita. Oleh karena itu berpikir melibatkan kemampuan untuk membayangkan atau menyajikan objek-objek yang tidak ada secara fisik atau kejadian-kejadian yang tidak sedang berlangsung.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir (homo thinking), makhluk yang mampu membangun atau mengembangkan potensi rasa dan karsa (emotional quetion); dan makhluk yang mampu membangun kualitas kedekatan pata Tuhan (spiritual quetion) (Muthahhari, M.. 1997; Tafsir, A. 2007). Dengan kata lain, manusia adalah makhluk ‘multi dimensional’, dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itulah yang menjadi senjata pamungkas bagi manusia dalam mengusai atau memberdayakan alam seisinya. Kemampuan multidimensi tersebut, menyebabkan manusia mampu mengembangkan beragam ilmu pengetahuan atau kebudayaan yang kompleks menuju keunggulan hidup (civilization).
Diantara bagian terpenting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan adalah ‘kemampuan manusia untuk menalar’. Dari kemampuan menalar itulah manusia dapat: (a) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara maksimal; (b) memilih dan membedakan sesuatu itu benar atau salah, sesuatu itu baik atau tidak baik; (c) memilih beragam alternatif pilihan jalan hidup yang benar atau tidak benar, bermanfaat atau tidak bermanfaat; dan (d) terus melakukan inovasi diberbagai bidang kehidupan dengan pola perubahan yang bersifat progress of change (Ankersmit. 1987; Sztompka, P. 1993).
C. Konsep Berpikir Holistik
Pikiran manusia cenderung bersifat analitis, memilah-milah, separa¬tis, friktif, parsial. Sebaliknya, pikiran tidak mampu mencerap objek secara tuntas. Hal ini disebabkan :
a. Hakikat sesuatu objek pikiran selalu bersifat tersembunyi, atau setidaknya tidak akan pernah tuntas dicerap secara menyeluruh oleh pikiran. Ya, selalu saja ada bagian yang tidak kita mengerti. Makin banyak yang diketahui, maka jauh lebih banyak lagi yang belum diketahu. Kalau kita mengenal istilah metodologi, maka sebenarnya hanya berarti “cara logis untuk mendekati objek”, dan bukan cara mencerap objek secara tuntas.
b. Dalam konteks praktis, biasanya kita lalu membagi tugas kepada beberapa orang dari berbagai disiplin ilmu misalnya. Model “membagi tugas” seperti ini mengandung kelemahan atau bahaya, kalau kita tidak memahami karakter pemikiran di balik pembagian tugas itu
c. Oleh karena pikiran tidak akan pernah mampu mencerap hakikat objek secara tuntas, maka berarti pikiran tidak akan pernah mampu berbicara perihal kebenaran. Pikiran hanya mampu berbicara perihal kebetulan. Mengambil hikmah dari gambar di atas, maka “kebetulan + kebetulan = kebenaran” bukan? artinya, kita tidak bisa menemukan kebenaran dengan mengumpulkan kebetulan-kebetulan. Dengan kata lain, pikiran tidak mampu melakukan valuasi (penilaian salah-benar), pikiran hanya mampu melakukan evaluasi (menyatakan fakta-fakta parsial).
Contoh :
Suatu penelitian menghendaki Anda mengukur/mengamati karakter daun tanaman rambutan. Perhatikan kata daun, tanaman dan rambutan. Dan perhatikan pula, bagaimana suasana psikis Anda saat mengamatinya. Meskipun perhatian Anda tertuju hanya kepada daun, tetapi pasti Anda sadar sesadar-sadarnya bahwa daun itu hanyalah sebagian dari bagian-organis tanaman, dan tanaman itu adalah rambutan. Oleh karena daun itu hanya sebagian organ, maka pasti ia bersangkut-paut dengan bagian-bagian lain (akar, batang, dst.). Tetapi kita bisa membedakan bahwa daun bukanlah akar, dan akar bukanlah batang. Begitulah seterusnya kesadaran Anda dari saat ke saat selama melakukan pengamatan Oleh karena itu, praktik-praktik dalam ilmu ragawi biasanya bisa lebih dijamin kebenarannya daripada ilmu non-ragawi. Sehingga, bagian-bagian yang diamati secara terpisah pun, setelah disatukan akan membangun suatu sistem konsistensi logika yang utuh. Pada contoh di atas, rangkaiannya membentuk bangun tanaman rambutan. Suatu bangun yang membentuk sistem konsistensi logika yang utuh, itulah fakta namanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka berlaku prinsip umum :
a. Keseluruhan tidak sama dengan jumlah bagian-bagiannya, atau
b. Keseluruhan sama dengan keseluruhan itu sendiri
Berdasarkan uraian di atas maka didalam memahami suatu objek, diperlukan pemahaman secara utuh dan menyeluruh terhadap objek tersebut atau disebut juga berpikir secara holistik. Ciri berpikir filsafat ini berlaku umum terhadap berbagai fenomena kehidupan manusia di dunia untuk mewujudkan keseimbangan hidup manusia. Dengan demikian konsep berpikir holistik dapat diuraikan sebagai berikut :
i. Berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat seperti ini perlu dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh. Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia sebab hanya manusia lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks serta beranekaragam. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam pikiran itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak memiliki arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang utuh.
ii. Suatu pola pikir dengan cara melihat keseluruhan sistem seakan-akan kita berada diatas helicopter dan melihat semua komponen sistem itu berinteraksi satu dan lainnya dibawah. Artinya kita selalu berpikir lebih luas dan memahami bahwa suatu bagian itu berkoneksi dengan bagian lainnya. Sehingga ketika ada gejala ketidak beresan, yang diperlukan adalah melihat dan bertanya sampai kita menemukan akarnya. Inilah yang penting dimiliki oleh individu yang ingin lebih maju.
iii. Model berpikir yang menggunakan model divergen dan konvergen secara bertahap. Kemampuan menggunakan kedua model berpikir tersebut, ditambah kemampuan “melihat” hubungan antara ide-ide atau informasi-informasi yang sebelumnya tidak terhubung merupakan dasar bagi berpikir cerdas.
Secara singkat, holistic thinking adalah aktivitas berpikir yang merupakan gabungan antara dimensi-dimensi spiritual (moral, etika, tujuan hidup), psikososial (motivasi, empati), rasional (tingkat pertama dan tingkat kedua, lihat penjelasan di bawah), dan fisikal (eksekusi, implementasi, menerima umpan balik). Kecerdasan pada dimensi-dimensi tersebut dilabeli dengan istilah SQ (spiritual), EQ (emosional), IQ (rasional), dan PQ (fisikal). Contoh sederhana adalah ketika sesorang membuat masalah dengan kita, orang yang pikirannya sempit akan langsung menghajar dan memukulinya. Tetapi untuk orang yang cerdas akan mencari penyebab masalahnya dan menyelesaikannya dengan baik.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemikiran secara Holistik
Perkembangan globalisasi menuntut pengembangan pola pikir secara holistik. Beberapa faktor yang mempengaruhinya dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kehidupan manusia terdiri dari beragam bidang kehidupan. Bidang-bidang kajian tersebut antara lain agama, hukum, bahasa, seni, matematika, sains, sosiologi, komunikasi, pendidikan dan sebagainya. Semua bidang tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya.
b. Otak manusia sejak dilahirkan telah disiapkan untuk memahami berbagai macam bidang ilmu. Secara potensial hal itu sudah disediakan, tetapi secara realitas kerap kali yang berkembang hanya bagian-bagian tertentu saja dari otak manusia. Karena tidak dilatih secara maksimal.
c. Jika dicermati, kehidupan manusia baik secara individu, sosial (komunitas), kehidupan hewan dan tumbuhan di alam, serta sistem mikroskopis dan makrokosmos yang ada di alam mini, akan didapati bahwa tidak ada satu pun makhluk yang independen secara mutlak. Semua makhluk itu terikat dalam sistem yang saling terhubung. Artinya, hakikat kehidupan kita ini bersifat komplek, tidak tunggal, tidak mandiri secara mutlak. Dengan demikian, memahami kehidupan ini juga membutuhkan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan yang komplek pula.
d. Dalam manajemen modern, banyak pihak telah lama menerapkan sistem pendekatan integral. Misalnya dalam industri perangkat keras komputer. Disana sebuah pabrik komputer tidak hanya merekrut ahli-ahli teknik komputer saja, tetapi mereka juga membutuhkan ahli desain, ahli bahasa, ahli marketing, peneliti sosial, sampai ahli psikologi. Dengan pendekatan yang bersifat menyeluruh (integral), diharapkan keputusan-keputusan manajemen yang diambil lebih dekat kepada realitas konsumen yang dihadapi.
e. Ilmu pengetahuan telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan multi disipliner yang menguasai ilmu agama, filsafat, matematika, sains, seni, sejarah, geografi dan lain-lain.
f. Pemahaman bidang-bidang ilmiah secara holistik akan membawa kepada kebijaksanaan dan keputusan yang matang. Justru sikap fanatik kepada spesialisasi dan menolak keragaman perspektif, hal itu akan membawa kepada kesempitan pandangan dan kesimpulan yang mentah.
g. Pada dasarnya, tidak ada satu pun bidang ilmu yang bersifat spesialis murni. Seorang ahli tidak akan menemukan sebuah teori baru tanpa alat bantu ilmu lain seperti ilmu fisika, informasi perpustakaan, dll.
h. Dengan berpikir secara holistik, seseorang mampu beradaptasi dengan berbagai macam manusia, lingkungan dan kasus. Menghadapi orang desa berbeda dengan menghadapi orang kota, menghadapi orang Jawa berbeda dengan menghadapi orang Batak.
E. Kesimpulan
Berpikir holistik dalam kehidupan manusia sangat penting. Apalagi kita sebagai makhluk sosial di zaman globalisasi ini, yang terus dihadapakan dengan suasana, lingkungan dan manusia yang berbeda. Berpikir holistik akan membuat orang lebih mudah beradaptasi dengan suasana, lingkungan, dan manusia yang baru serta berbeda.
Dengan berpikir holistik kita tidak akan terjebak dalam pemikiran- pemikiran yang bodoh. Kita bisa menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada diri kita atau orang lain dengan pikiran positif. Dan juga mampu menyelesaikan masalah dengan baik yang dimulai dengan mencari penyebabnya.
Bagi pelajar atau juga mahasiswa berpikir holistik sangat penting, Akan sangat memudahkan kita sebagai mahasiswa dalam menghadapi masalah, tugas- tugas dan juga pekerjaan- pekerjaan diluar aktifitas belajar.
Yang lebih penting adalah berpikir holistik akan membuat kita lebih bijaksana. Meninggalkan segala macam hal yang buruk dan melaksanakan hal- hal yang baik. Sebagai makhluk sosial juga harus pandai memilih sahabat yang baik. Sebagai makhluk konsumen juga harus bijaksana, yang lebih dibutuhkan harus didahulukan. Sebagai politikus juga harus mementingkan rakyat daripada golongan dan individunya sendiri.
Referensi:
http://bongsochicha.blogspot.com/2012/08/berpikir-holistik.html (diakses tanggal 25 Maret 2013)