Di zaman sekarang ini banyak kekerasan yang terjadi di negeri ini baik yag mengatasnamakan kelompok ataupun suku. Namun yang paling membuat kita mengelus dada adalah kekerasan yang mengatasnamakan agama. Alasannya karena apa yang dilakukan oleh orang lain itu tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Banyak dari pelaku kekerasan yang beralasan bahwa ajaran agama yang mereka anut itu harus ditegakkan dan bebas dari kekotoran yang menimbulkan dosa.
Penafsiran salah terhadap ajaran agama inilah yang menyebabkan terjadinya konflik. Selain itu juga, kefanatikan terhadap ajaran agama inilah yang menuntut seseorang untuk melakukan apapun agar ajaran agamanya tetap bisa bertahan walaupun dengan cara yang salah. Dogmatisme memang tidak bisa dari agama karena dengan dogma inilah agama bisa tetap ada.
Setiap agama memang mempunyai dogma yang beragam. Agama Buddha sendiri juga mempunyai dogma. Bahkan dahulu sebelum agama Buddha uncul juga sudah ada dogma.
Pengertian Dogma
Dogma adalah pokok ajaran (tt kepercayaan dsb) yg harus diterima sbg hal yg benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan atau keyakinan tertentu (KBBI). Dogmatisme adalah doktrin bahwa pikiran manusia mampu untuk mengetahui dengan kebenaran. Dogmatisme sebagai suatu sistem kepercayaan yang dapat membuat orang menjadi ekstrim.
Istilah ditthi dan dittthivāda merupakan istilah yang sama dengan dogma. Ditthi atau drsti dari akar kata drs (melihat) PTS adalah pandangan, kepercayaan, Dalam Pali canon kita menemukan konsep yang sama dengan dogma serta cara menyikapinya dogma, teori, dan spekulasi. Dalam Brahmajāla sutta terdapat 62 ditthi. Buddha mengindentifikasi salah satu dogmatits yaitu anussavikā (revelationist).
Dogma- dogma dalam Brahmajala Sutta
18 pandangan salah tentang masa lampau:
· Empat pandangan kepercayaan atta dan loka adalah kekekalan (sassata ditthi)
· Empat jenis kepercayaan dualisme pada kekekalan dan ketidak-kekelan (ekacca sassata ditthi)
· Empat pandangan mengenai apakah dunia itu terbatas atau tak terbatas (antnanta ditthi)
· Empat jenis pengelakan yang tidak jelas (amaravikkhepa vada)
· Dua dokterin non sebab akibat (adhiccasamuppanna vada)
Berebagai pandangan salah mengenai masa depan terdapat 44 jenis
· Enambelas jenis kepercayaan pada adanya sanna setelah kematian (uddhamaghatanika sanni vada)
Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut ajaran bahwa “sesudah mati kesadaran tetap ada’ (aparantanoditthino), pandangan ini berpendapat bahwa sesudah mati ‘atta’ tetap ada; pandangan ini terbagi dalam enam belas pandangan. Mereka menyatakan tentang ‘atta’ sebagai berikut: “Sesudah mati, “atta “tetap ada, tidak berubah dan sadar”, dan
1) Mempunyai bentuk (rupa)
2) tidak berbentuk (arupa)
3) berbentuk dan tidak berbentuk (rupa-arupa)
4) bukan berbentuk atau pun bukan tidak berbentuk (n”evarupi narupi)
5) terbatas (antava atta hoti)
6) tidak terbatas (anantava)
7) terbatas dan tidak terbatas (antava caanantavaca)
8) bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas (n”evantava nanantava)
9) memiliki semacam bentuk kesadaran (ekattasanni atta hoti)
10) memiliki macam-macam bentuk kesadaran (anatta sanni)
11) memiliki kesadaran terbatas (paritta sanni)
12) memiliki kesadaran tidak terbatas (appamana sanni)
13) selalu bahagia (ekanta sukhi)
14) selalu menderita (ekanta dukkhi)
15) bahagia dan menderita (sukha dukkhi)
16) bukan bahagia atau pun bukan menderita (adukkham asukkhi)
· Delapan jenis kepercayaan pada tidak adanya sanna setelah kematian (uddahamaghatanika asanni vada)
Mereka menyatakan bahwa ‘setelah mati ‘atta’ tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran’ dan
1) berbentuk (rupi)
2) tidak berbentuk (arupi)
3) berbentuk dan tidak berbentuk (rupi ca arupi ca)
4) bukan berbentuk atau pun bukan tidak berbentuk (n’eva rupi narupi)
5) terbatas (antava)
6) tidak terbatas (anantava)
7) terbatas dan tidak terbatas (antava ca anantava ca)
8) bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas (n’avantava nanantava)
· Delapan jenis kepeercayaan pada adanya bukan sanna pun bukan non sanna setelah kematian (uddhamaghatanika nevasanni nasanni vada)
1. Mereka menyatakan bahwa ‘setelah mati ‘atta’ tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran’ dan
9) berbentuk (rupi)
10) tidak berbentuk (arupi)
11) berbentuk dan tidak berbentuk (rupi ca arupi ca)
12) bukan berbentuk atau pun bukan tidak berbentuk (n’eva rupi narupi)
13) terbatas (antava)
14) tidak terbatas (anantava)
15) terbatas dan tidak terbatas (antava ca anantava ca)
16) bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas (n’avantava nanantava)
2. “Para bhikkhu, inilah para petapa dan brahmana yang mengajarkan bahwa ‘sesudah mati’ ‘atta’ bukan memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa kesadaran”, yang terbagi dalam delapan pandangan”.
· Tujuh jenis kepercayaan pada anihilasi uccheda vada)
3. pandangan pertama, ada beberapa petapa dan brahmana yang berpendapat dan berpandangan seperti berikut: “Saudara, karena ‘atta’ ini mempunyai bentuk (rupa) yang terdiri dari ‘empat zat’ (catummahabhutarupa), dan merupakan keturunan dari ayah dan ibu; bila meninggal dunia, tubuh menjadi hancur, musnah dan lenyap, dan tidak ada lagi kehidupan berikutnya. Dengan demikian ‘atta’ itu lenyap. Demikianlah pandangan yang menyatakan bahwa ketika makhluk meninggal, ia musnah dan lenyap”.
4. Pandangan ke dua. Orang lain berkata kepadanya: Saudara, ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi ‘atta’ itu tidak musnah sekaligus, karena ada ‘atta’ lain lagi yang luhur, berbentuk, termasuk ‘alat kesenangan inderia’ (kamavacaro), ‘hidup dengan makanan material’ (kavalinkaraharabhakkho), yang kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui atau telah melihatnya. Setelah meninggal ‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal dunia makhluk itu binasa, musnah dan lenyap”.
5. Pandangan ke tiga. Orang lain berkata kepadanya: “Saudara, ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi ‘atta’ itu tidak musnah sekaligus, karena ada ‘atta’ lain lagi yang luhur, berbentuk, dibentuk oleh pikiran (Manomaya), semua bagiannya sempurna, inderianya pun lengkap. ‘Atta’ seperti itu kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal, ‘atta’ ini musnah dan lenyap. Setelah itu ‘atta’ tersebut tiada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap”.
6. Pandangan ke empat. Orang lain berkata kepadanya: “Saudara, ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi atta tidak musnah sekaligus. Karena ada ‘atta’ lain lagi yang melampaui ‘pengertian adanya bentuk’ (rupesanna) yang telah melenyapkan rasa tidak senang (pathigasanna), tidak memperhatikan penyerapan-penyerapan lain (nannattasanna), menyadari ruang tanpa batas’ (akasanancayatana). ‘Atta’ ini kamu tidak ketahui atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal dunia, ‘atta’ ini musnah dan lenyap. Setelah itu, ‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap”.
7. Pandangan ke lima. Orang lain berkata kepadanya: “Saudara, ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi ‘atta’ tidak musnah sekaligus. Karena ada ‘atta’ lain lagi yang melampaui alam Akasanancayatana, menyadari kesadaran tanpa batas, mencapai alam ’Kesadaran tanpa batas’ (vinnanancayatana). Atta ini kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal, atta musnah dan lenyap. Setelah itu, ‘atta tersebut tidak ada lagi dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap.
8. Pandangan ke enam. Orang lain berkata kepadanya: “Saudara, ‘atta’ yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi atta tidak musnah sekaligus. Karena ada atta lain yang melampaui alam Vinnanancayatana, menyadari kekosongan, mencapai alam kekosongan’ (Akincannayatana). Atta ini kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal, atta ini musnah dan lenyap. Setelah itu, ‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap.
9. Pandangan ke tujuh. Orang lain berkata kepadanya: “Saudara, atta yang seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi atta tidak musnah sekaligus. Karena ada atta lain yang melampaui alam Akincannayatana, mencapai alam ‘bukan penyerapan atau pun bukan tidak penyerapan’ (N’evasanna nasannayatana). Atta ini kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahi dan melihatnya. Ketika meninggal, atta ini musnah dan lenyap. Setelah itu, ‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali”. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap.
10. inilah para petapa dan brahmana yang berpaham Annihilasi 4), yang memiliki tujuh pandangan dengan berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk binasa, musnah dan lenyap sama sekali. Para bhikkhu, demikianlah para petapa dan brahmana tersebut berpendapat dan menyatakan ajaran mereka dalam tujuh pandangan ini atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut tidak ada lagi.
· Lima jenis nibbana duniawi sebagai yang bisa diwujudkan dalam kehidupan ini juga (ditthadhamma nibbana vada)
11. “Para bhikkhu, dari semua pandangan tersebut, ada para petapa dan brahmana yang berpaham:
1) Eternalis (sassata vada) yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ (bumi, dunia, semesta, jagad) adalah kekal dengan empat pandangan.
2) Semi-Eternalis (sassata-asassata vada) yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah sebagian kekal dan sebagian tidak kekal, dengan empat pandangan.
3) Ekstensionis (antanantika) yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah terbatas dan tak terbatas, dengan empat pandangan.
4) Berbelit-belit (amaravikkhepika), yang bilamana sebuah pertanyaan ditanyakan kepada mereka, mereka akan men-jawabnya dengan cara yang berbelit-belit, sehingga mem-bingungkan, dengan empat pandangan.
5) Asal mula sesuatu terjadi adalah secara kebetulan (adhiccasamuppanika), yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan loka’ terjadi tanpa adanya suatu sebab, dengan dua pandangan.
Mereka semua itulah yang berpaham pada ‘keadaan masa yang lampau’!
6) Setelah meninggal kesadaran tetap ada (uddhamagha-tanikasannavada) yang menyatakan bahwa ‘atta’ tetap hidup terus setelah meninggal, dengan enam belas pandangan.
7) Setelah meninggal tanpa kesadaran (uddhamaghatanika asanni vada) yang menyatakan bahwa setelah meninggal ‘atta’ adalah tanpa kesadaran, dengan delapan pandangan.
8) Setelah meninggal ‘ada kesadaran dan tanpa kesadaran’ (uddhamaghatanika n’evasanninasanni vada) yang menyatakan bahwa ‘setelah meninggal ‘atta’ adalah memiliki kesadaran dan tanpa kesadaran, dengan delapan pandangan.
9) Annihilasi (ucchedavada) yang menyatakan bahwa setelah meninggal makhluk binasa, hancur dan lenyap, dengan tujuh pandangan.
10) Mencapai kebahagiaan mutlak dalam kehidupan sekarang ini (ditthadhammanibbanavada) yang menyatakan bahwa Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini, dengan lima pandangan
Pandangan Buddhisme Awal terhadap Munculnya Dogmatisme
Menurut pandangan Buddhisme akar dari semua dogma dalam Samyutta Nikāya adalah sakkāyaditthi (pandangan salah), sakkāyaditthi (salah satu dari 4 upādāna) yang harus dihancurkan ketika mencapai tingkat sotāpanna. Jika tak ada sakkāya ditthi maka dogma-dogma tak akan ada. Menghilangkan dogma tentang diri bukan berarti dogma “tidak ada diri” diadakan, karena itu merupakan refleksi yang salah. Melenyapkan konsep adanya diri bukan berarti memunculkan konsep diri tidak ada.
Sabbhasava sutta: Pada orang yang merefleksi secara salah, satu diantara enam pandangan umum muncul: padanya muncul pandangan, “Aku mempunyai diri” sebagai benar dan pasti atau padanya muncul “Aku tak ada diri” sebagai benar dan pasti.
Dogmatisme bisa menyebabkan pertikaian karena sesorang telah melekat pada dogma akan mempertahannya dan menganggap itu adalah yang paling benar. Sehingga akan memandang orang lain adalah orang yang salah dan tidak pantas dihormati. Dalam diri seseorang tersebut akan menyebabkan keombongan karena dogma yang dia anut adalah yang terbaik dan yang paling benar.
Khotbah pada suku Kalama (Kalama Sutta):
Janganlah bertindak hanya atas dasar kekuasaan kitab-suci (pitaka sampada) .... tapi bila engkau mengetahui sendiri: "Hal-hal ini adalah baik, hal-hal ini tidak akan dipersalahkan, hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, dan bila dilaksanakan serta diikuti, membawa kebajikan dan kebahagiaan," maka ikuti dan mantaplah dengannya.[A, I: 187]
Kesimpulan
Pada dasarnya buddhisme awal memandang segala sesuatu itu tanpa kekekalan dan tidak menghendakki adanya konflik. Dengan demikian maka penderitaan akan dapat dikurangi dan dihilangkan. Karena seseorang yang menganut agama menghendakki kebahagiaan dengan jalan seseorang tersebut menjalankan dogma dari ajaran tersebut dengan benar dan sesuai.
Setiap agama atau system kepercayaan yang dianut seseorang mempunyai dogma termasuk agama Buddha.
Daftar Pustaka
· http://kamusbahasaindonesia.org/dogma/mirip#ixzz2ibxhRlHy (diakses tanggal 24 Oktober 2013).
· Dhirasekera, jotika. 1979. Encyclopaedia of Buddhism Vol.IV. The Government of Ceylon
https://www.facebook.com/notes/artikel-buddhis/dasar-pandangan-agama-buddha-bag29-sumber-sumber-ajaran-oleh-bhikkhu-s-dhammika/400591933705?comment_id=12982934&offset=0&total_comments=1 (diakses tanggal 24 Oktober 2013).
EmoticonEmoticon