infeed1

AGAMA BUDDHA DI KERAJAAN MAJAPAHIT

3:08 PM

A.    Sosio Kultural di Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit berkembang pada abad 14, pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Tingkat pertanian yang maju berdasarkan irigasi yang luas disertai perdagangan internasional yang berkembang, menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan teritorial, untuk mengembangkan birokrasi yang makin terperinci dan untuk menyusun kekuasaan politik yang semakin disentralisasikan. Dinasti Majapahit berkembang melalui suatu fase pemungutan upeti dari negeri-negeri taklukan atau negeri-negeri yang lebih berkembang dan mencapai puncaknya pada waktu mempunyai dominasi polotik atau suku-suku bangsa diseluruh kepulauan nusantara, tetapi tanpa peleburan teritorial. Dalam hal ini kita berhadapan dengan apa yang disebut integrasi tingkat negara yang mencakup masyarakat pertanian hidrolik dan masyarakat kota perdagangan, sehingga kita dapat menganggap masyarakat pertanian dan perdagangan. Dalam hubungan dapatlah dikatakan bahwa disuatu pihak  Mataram dan Bali dapat digolongkan sebagai masyarakat hidrolik. Sedang dipihak lain Malaka sebagai pusat perdagangan tanpa daerah pedalaman, makanya dapat disebut kerajaan kota.
Seperti pada masyarakat agraris yang lain, di Majapahit agama memegang peranan yang sangat penting. Maka peradaban Majapahit diberi corak oleh jabatan-jabatan agama yang luas dan berpengaruh, yang terjadi atas pendeta-pendeta syiwa, Buddha, Waisnawa dan pendeta-pendeta Syaman. Posisi kepemimpinan masyarakat Majapahit tidak hanya dipegang oleh penguasa-penguasa wilayah atau pejabat-pejabat administrasi, tetapi juga dipegang oleh pendeta-pendeta, juru kunci tempat keramat dan juru magi. Tumbuhnya kekuasaan pusat ditangan raja yang dianggap sebagai Dewa, yang memperkuat posisi sekulernya dengan jalan mengikatkan diri pada suatu bentuk lembaga-lembaga kekuasaan religius yang tertinggi, tidak memberi kesempatan pada agama untuk berkembang sebagai agama yang paling dominan dan bebas, baik politis maupun ekonomis. Selanjutnya sangatlah mungkin, bahwa kekuasaan pusat mengambil suatu sikap politik sinkretis, tidak hanya demi menjaga kerjasama demi antara sekte-sekte agama, tetapi juga dengan tujuan untuk dapat mengawasi sekte-sekte itu.
Pada zaman Majapahit penghormatan nenek moyang raja dilakukan  bersamaan dengan pemuliaan raja-raja yang telah dimakamkan di candi-candi, baik candi syiwa maupun buddha. Menurut kepercayaan kuno penghormatan terhadap nenek moyang itu adalah suatu keharusan demi pemeliharaan tata kosmis. Ikatan antara bagian dunia hidup dan dunia mati diperkuat oleh upacara-upacara penghormatan itu.karena konsepsi adanya dua bagian dalam kosmos dan masyarakat itu mempunyai arti yang besar sekali pada alam pikiran bangsa jawa, maka hubungan ritual antar kerohanian dan keduniawian harus dilakukan dengan maksud melindungi kerajaan sebagai keseluruhan. Pendeta-pendeta yang dijadikan sebagai pegawai istana tingkat tinggi lebih dapat dipandang sebagai suatu maksud untuk memelihara agama.
Pangkat yang tertinggi diantara pendeta-pendeta raja (wikuhaji) dijabat oleh dua orang pendeta tinggi atau dharmadhyaksa yaitu brahman Syiwa dan pendeta Buddha. Dualisme kerjasama agama istana ini menunjukkan aspek material dunia, sedang agama Buddha menunjukkan aspek immaterialnya. Semua rohaniawan yang menghambakan diri pada raja, baik di istana maupun di kota-kota provinsi dinyatakan sebagai wikuhaji. Mereka lain sekali dengan rohaniawan biasa karena mempunyai fungsi resmi dari raja.
Kaum agama biasanya hidup berkelompok disekitar bangunan-bangunan agama, seperti mandala, dharma, siwa, vihara,dll. Mereka dinyatakan bebas dari pembayaran pajak dan hanya diwajibkan membayar beberapa pajak yang memang sudah lazim dan berada dibawah kekuasaan pendeta tinggi. Dari segi politik hak istimewa yang diberikan raja kepada rohaniawan dan keluarganya membantu mempertahankan kepentingan-kepentingan dinasti. Ada dua golongan pendeta yang mengepalai dharma-dharma, yaitu golongan pendeta berbangsa(amatya) atau Wiku (pendeta-pendeta yang ditunjuk), dan sthapaka (pembesar wihara).

B.    Sinkretis Ajaran Agama Buddha dan Agama Hindu di Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Pada zaman majapahit ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya sebagai "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.
Pada zaman Majapahit (1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa , Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai "Harihara" yaitu rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu. Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas. Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu. Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.

Referensi:
Widya K Dharma. 1993. Sejarah Perkembangan Agama Buddha II. Jakarta: Departemen Agama dan Universitas Terbuka.
 http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha_di_Indonesia


Artikel Terkait

Previous
Next Post »