infeed1

Peninggalan Agama Buddha di Jawa Timur

10:55 AM Add Comment
Candi Jabung merupakan salah satu candi yang bercorak agama Buddha di Jawa Timur

Perkembangan Agama Buddha di Jawa Timur

Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sendok membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis), Jawa Timur. Mpu Sendok naik tahta kerajaan pada tahun 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu Sendok ini tetap bernama Mataram dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Ia memerintah dibantu permaisurinya, Sri Wardhani Kbi. Saat pemerintahannya, kehidupan beragama berjalan baik. Meski beragama Hindu, tapi Mpu Sendok memperhatikan penggubahan kitab Budha Mahayana menjadi kitab Sang Hyang Kamahayanikan.
a.    Mpu Sendok dan Dinasti Isyana
Mpu Sendok adalah raja pertama Medang Kemulan. Gelarnya adalah Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isyana Wikrama Dharmatunggadewa. Memerintah selama + 20 tahun. Dinasti Isyana. Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Berdasarkan agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya. Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang sekarang. Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.
Dalam Kerajaan Medang hanya ada satu dinasti saja, yaitu Wangsa Syailendra, yang semula beragama Hindu. Kemudian muncul Wangsa Syailendra terpecah dengan munculnya anggota yang beragama Buddha. Dengan kata lain, versi ini berpendapat bahwa Mpu Sindok adalah anggota Wangsa Syailendra yang beragama Hindu Siwa, dan yang memindahkan istana Kerajaan Medang ke Jawa Timur. Silsilah Keluarga Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya. Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Ayah dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890–900–an) Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa. Dengan demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
b.   Agama Buddha di Kerajaan Kediri dan Singasari
Kerajaan Kediri
Raja Sri Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang bergelar Sri Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu seperti Airlangga. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah Bameswara. Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja, diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana yang menikah dengan Chandra Kirana, putri Jayabhaya. Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parkrama Digjayotunggadewa Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, terjadi perang saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara tersebut sehingga wilayah Kediri berhasil disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti Ngantang. Pengganti Jayabhaya yaitu Sarweswara dari Aryyeswara, tidak banyak diketahui. Raja berikutnya adalah Gandra. Pada masa pemerintahannya, Gandra menyempurnakan struktur pemerintahan yang diwariskan Kerajaan Medang Kemulan.
Para pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama hewan, seperti Gajah atau Kebo. Penggunaan nama-nama tersebut menjadi tanda pengenal kepangkatan tertentu di Kerajaan Kediri. Setelah Gandra, pemerintahan Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa. Pada masa pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepahlawanan. Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya, Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di daerah Tumapel (sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok. Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu Tumapel.Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Kerajaan Kediri.
Kerajaan Singasari
Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah kitab-kitab kuno, seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja. Kerajaan Singasari dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun, dalam pertempuran di Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan Kerajaan Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur.
Dari istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wong ateleng, Panji Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki seorang anak tiri, yaitu Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul ametung dan Ken Dedes. Tunggul Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok.
Pada tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak tirinya Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai untuk membunuh Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari). Setelah Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha, naik tahta sebagai raja kedua Kerajaan Singasari. Anusapati memerintah sampai tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya dibunuh oleh Anusapati, merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh Anusapati juga dengan mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya kemudian mengantikan Anusapati menjadi Raja di Kerajaan singasari pada tahun 1248. Ia tidak lama memerintah karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Sinelir dan Rajasa yang digerakkan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dibantu oleh Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama. Pemberontakan Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya dengan tombak. Tohjaya berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi akhirnya meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan Singasari kembali kosong.
Setelah tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan Singgasari dengan gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana menobatkan anaknya yang bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja (Raja Muda). Kertanegara mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268. Ketika Wishnuwardhana meninggal di Mandaragiri, ia dimuliakan di dua tempat yang berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai Buddha Amoghapasha dan di Candi Weleri sebagai Siwa.
Setelah ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda langsung dinobatkan sebagai Raja Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan, Kertanegara dibantu oleh tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu. Dibawah ketiga Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan. Untuk mengatur soal keagamaan, diangkat pejabat yang disebut Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
Raja Kertanegara adalah raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia mempunyai semangat Ekspansionis. Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan tahun1260. Peristiwa ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai Langsat) yang berangka tahun 1286.
Raja Melayu saat itu, Tribhuwana atau Raja Mulawarmandewa, beserta rayatnya menyambut hadiah itu dengan suka cita. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Melayu secara resmi berada dibawah kekuasaan Raja Kertanegara. Kertanegara juga membawa putrid Melayu kembali ke Singasari untuk dinikahkan dengan salah seorang bangsawan Singasari. Tujuh pengiriman arca dan penaklukan Kejaan Melayu adalah untuk menghadang rencana perluasan kekuasaan Kaisar Kubilai Khan dari Cina. Diceritakan bahwa sudah beberapa kali utusan dari Cina dating ke Kerajaan Melayu menurut pengakuan untuk tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan sebagai pernyataan tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan sebagai pernyataan tunduk.
Pada tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K’i dikirim pulang ke Cina sehingga Kaisar Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari. Sebagian besar pasukan Kerajaan Singasari sedang dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang di Kerajaan Kediri yang menjadi bawahan Kerajaan Singasari melihat kesempatan yang baik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun 1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota Kerajaan Singasari.Menurut cerita, pada saat serangan musuh datang, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana sehingga dapat dengan mudah mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut oleh Jayakatwang, Raja Kediri.
c.    Prasasti Kanjuruhan dan Prasasti Gunung Bukit
Prasasti kanjuruhan
Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6 Masehi (masih sezaman dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.Kerajaan Kanjuruhan menurut para ahli purbakala berpusat dikawasan Dinoyo Kota Malang sekarang. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kanjuruhan ini adalah Prasasti Dinoyo yang saat ini berada di Museum Jakarta. Prasasti Dinoyo ditemukan di Desa Merjosari 5 Km sebelah Barat Kota Malang. Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut : 

Relief Avadana di Candi Borobudur

10:43 AM Add Comment
Gambar salah satu relief di Candi Borobudur



a.    Latar Belakang
Candi Borobudur merupakan candi terbesar di Indonesia yang dibuat oleh kerajaan Smaratungga yang beraliran Buddhis. Didalam candi Borobudur terdapat relief-relief yang menggambarkan ajaran agama Buddha, kisah Buddha Gautama dan kehidupan zaman dahulu. Disini penulis akan membahas tentang relief Avadana yang ada di candi Norobudur.
b.   Pembahasan
Awadana adalah juga berisi cerita Jataka namun tokoh ceritanya bukan Buddha melainkan pangeran Sudhanakumara. Cerita pada relief Awadana dihimpun dalam Kitab Diwyawadana (perbuatan mulia kedewaan) dan Kitab Awadanasataka (seratus cerita Awadana). Pada relief-relief Candi Borobudur jataka dan awadana itu diperlakukan sama. Artinya, kedua-duanya terdapat pada deretan yang sama, tanpa ada tanda-tanda yang membedakan. Relief-relief deretan bawah pada dinding lorong yang pertama, misalnya, untuk sebagian besar mengambarkan cerita awadana, sedangkan cerita Jataka yang tampak di berbagai tempat, dalam deretan itu lebih mirip kepada selingan saja. Lain halnya dengan relief-relief deretan atas yang terdapat pada langkannya. Di sini hampir semua reliefnya melukiskan cerita Jataka, dan cerita Awadananya hanya menduduki tempat kedua.
Deretan relief awadana menghiasi dinding lorong ke-2,yaitu tentang cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari. Relief cerita deretan bawah pada dinding lorong tingkat pertama diawali dengan penyajian cerita Sudhanakumarawadana, yaitu Perbuatan-perbuatan mulia Pangeran Sudhana. Cerita ini diambil dari himpunan Diwywadana dan dipahatkan pada 20 bidang pigura.
c.    Kesimpulan
Kedudukan candi Borobudur istimewa dibanding candi-candi yang lain tidak hanya nampak dari bangunannya saja, tetapi yang menarik juga dari pahatan-pahatan reliefnya. Semua relief yang memenuhi permukaan dinding candi harus dibaca dari kanan ke kiri. Hal ini disebabkan karena harus menelusuri lorong-lorong yang berdasarkan arah jarum jam, sebagai upacara penghormatan dengan menempatkan candi di sebelah kanan. Salah satu relief yang ada pada dinding candi borobudur adalah relief avadana. Relief ini menceritakan tentang kehidupan Boddhisatva di alam yang lebih baik (alam Dewa). Antara relief Jataka dan Avadana itu diperlakukan sama, karena letaknya sama yaitu pada satu deretan tanpa ada pembeda. Awadana adalah juga berisi cerita Jataka namun tokoh ceritanya bukan Buddha melainkan pangeran Sudhanakumara.

Referensi:
 

AGAMA BUDDHA DI KERAJAAN MAJAPAHIT

3:08 PM Add Comment

A.    Sosio Kultural di Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit berkembang pada abad 14, pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Tingkat pertanian yang maju berdasarkan irigasi yang luas disertai perdagangan internasional yang berkembang, menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan teritorial, untuk mengembangkan birokrasi yang makin terperinci dan untuk menyusun kekuasaan politik yang semakin disentralisasikan. Dinasti Majapahit berkembang melalui suatu fase pemungutan upeti dari negeri-negeri taklukan atau negeri-negeri yang lebih berkembang dan mencapai puncaknya pada waktu mempunyai dominasi polotik atau suku-suku bangsa diseluruh kepulauan nusantara, tetapi tanpa peleburan teritorial. Dalam hal ini kita berhadapan dengan apa yang disebut integrasi tingkat negara yang mencakup masyarakat pertanian hidrolik dan masyarakat kota perdagangan, sehingga kita dapat menganggap masyarakat pertanian dan perdagangan. Dalam hubungan dapatlah dikatakan bahwa disuatu pihak  Mataram dan Bali dapat digolongkan sebagai masyarakat hidrolik. Sedang dipihak lain Malaka sebagai pusat perdagangan tanpa daerah pedalaman, makanya dapat disebut kerajaan kota.
Seperti pada masyarakat agraris yang lain, di Majapahit agama memegang peranan yang sangat penting. Maka peradaban Majapahit diberi corak oleh jabatan-jabatan agama yang luas dan berpengaruh, yang terjadi atas pendeta-pendeta syiwa, Buddha, Waisnawa dan pendeta-pendeta Syaman. Posisi kepemimpinan masyarakat Majapahit tidak hanya dipegang oleh penguasa-penguasa wilayah atau pejabat-pejabat administrasi, tetapi juga dipegang oleh pendeta-pendeta, juru kunci tempat keramat dan juru magi. Tumbuhnya kekuasaan pusat ditangan raja yang dianggap sebagai Dewa, yang memperkuat posisi sekulernya dengan jalan mengikatkan diri pada suatu bentuk lembaga-lembaga kekuasaan religius yang tertinggi, tidak memberi kesempatan pada agama untuk berkembang sebagai agama yang paling dominan dan bebas, baik politis maupun ekonomis. Selanjutnya sangatlah mungkin, bahwa kekuasaan pusat mengambil suatu sikap politik sinkretis, tidak hanya demi menjaga kerjasama demi antara sekte-sekte agama, tetapi juga dengan tujuan untuk dapat mengawasi sekte-sekte itu.
Pada zaman Majapahit penghormatan nenek moyang raja dilakukan  bersamaan dengan pemuliaan raja-raja yang telah dimakamkan di candi-candi, baik candi syiwa maupun buddha. Menurut kepercayaan kuno penghormatan terhadap nenek moyang itu adalah suatu keharusan demi pemeliharaan tata kosmis. Ikatan antara bagian dunia hidup dan dunia mati diperkuat oleh upacara-upacara penghormatan itu.karena konsepsi adanya dua bagian dalam kosmos dan masyarakat itu mempunyai arti yang besar sekali pada alam pikiran bangsa jawa, maka hubungan ritual antar kerohanian dan keduniawian harus dilakukan dengan maksud melindungi kerajaan sebagai keseluruhan. Pendeta-pendeta yang dijadikan sebagai pegawai istana tingkat tinggi lebih dapat dipandang sebagai suatu maksud untuk memelihara agama.
Pangkat yang tertinggi diantara pendeta-pendeta raja (wikuhaji) dijabat oleh dua orang pendeta tinggi atau dharmadhyaksa yaitu brahman Syiwa dan pendeta Buddha. Dualisme kerjasama agama istana ini menunjukkan aspek material dunia, sedang agama Buddha menunjukkan aspek immaterialnya. Semua rohaniawan yang menghambakan diri pada raja, baik di istana maupun di kota-kota provinsi dinyatakan sebagai wikuhaji. Mereka lain sekali dengan rohaniawan biasa karena mempunyai fungsi resmi dari raja.
Kaum agama biasanya hidup berkelompok disekitar bangunan-bangunan agama, seperti mandala, dharma, siwa, vihara,dll. Mereka dinyatakan bebas dari pembayaran pajak dan hanya diwajibkan membayar beberapa pajak yang memang sudah lazim dan berada dibawah kekuasaan pendeta tinggi. Dari segi politik hak istimewa yang diberikan raja kepada rohaniawan dan keluarganya membantu mempertahankan kepentingan-kepentingan dinasti. Ada dua golongan pendeta yang mengepalai dharma-dharma, yaitu golongan pendeta berbangsa(amatya) atau Wiku (pendeta-pendeta yang ditunjuk), dan sthapaka (pembesar wihara).

B.    Sinkretis Ajaran Agama Buddha dan Agama Hindu di Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Pada zaman majapahit ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya sebagai "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.
Pada zaman Majapahit (1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa , Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai "Harihara" yaitu rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu. Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas. Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu. Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.

Referensi:
Widya K Dharma. 1993. Sejarah Perkembangan Agama Buddha II. Jakarta: Departemen Agama dan Universitas Terbuka.
 http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha_di_Indonesia


AGAMA KONFUSIANISME DAN TAO

2:43 PM Add Comment

A.    Pendahuluan
    Di Indonesia terdapat enam agama yang diakui oleh Negara, salah satunya yakni Konghuchu (Konfusianisme) dan Taoisme. Taoisme dan Konfusianisme merupakan kepercayaan yang dianut oleh orang Cina. Ciri kepercayaan pada agama asli orang Cina terlihat pada tiga hal yaitu penghormatan dan pemujaan kepada roh nenek moyang, langit, dan alam. Agama atau kepercayaan orang Cina disebut zu xian jiao yang berarti agama leluhur. Dasar kepercayaan orang cina disebut jing tian zun zu berarti mengagungkan langit (Tuhan) dan menghormati leluhur. Tradisi pemujaan roh nenek moyang dari orang yang sudah meninggal dunia di Cina berkembang dan tumbuh sejalan dengan ajaran Tao dan Konghuchu. Setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda, demikian juga dengan Konfusianisme dan Taoisme itu sendiri. Dengan demikian, untuk mengetahui lebih lanjut begaimana ajaran kedua kepercayaan tersebut, penulis akan membahas mengenai Konfusianisme dan Taoisme.
B.    Pembahasan
  1.  Konfusianisme
a.    Sejarah
    Konfusius lahir tahun 551 SM di kabupaten Lu. Hidupnya sangat sederhana karena ia berasal dari keluarga yang tidak mampu, pada usia 3 tahun ayahnya meninggal sehingga ia hidup dengan ibunya. Konfusius mengenyam pendidikan dengan dibiayai oleh ibunya menyadari dari keluarga yang tidak mampu konfusius mencari nafkah sendiri untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. Usia 15 tahun konfusius memusatkan pada ilmu pengetahuan dan usia 20 tahun sudah menjadi seorang guru privat pekerjaan ini yang kemudian menjadi profesi. Nama baik pribadi serta kebijaksanaan hidupnya tersebar luas dengan cepat dan dapat menarik sekelompok orang menjadi pengikutnya. Beliau berkeliling negara untuk mengajarkan kebaikan, memberi nasehat yang baik kepada para pejabat pemerintah. Konfusius menekankan pada cinta kepada sesama manusia ibaratnya memanusiakan manusia. Lambat laun karena ajaran yang penuh welas asih ini, masyarakat menyebutnya sebagai konfusianisme dalam perkembanganya menjadi sebuah agama konghuchu. Konfusianisme adalah nama lain dari konghuchu, orang cina menyebut kofusius sebagai guru pertama.
b.    Ajaran konghuchu atau konfusianisme
Konfusius menyebutkan lima inti ajaran konghuchu, yaitu:
    Jen adalah kebajikan dari segala kebajikan. Jen mencakup suatu perasaan manusiawi terhadap orang lain dan pengorbanan terhadap diri sendiri. Jen lebih menekankan pada bersikap hormat pada orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
     Chun zhu adalah sang tuan. Chun zhu adalah orang yang berjiwa besar, orang yang lembut dan orang yang dermawan. Karena merasa kecukupan sehingga ia membuka lebar kedua tangannya untuik melayani orang lain dan bersikap sopan pada orang lain contoh ketika ada tamu yang datang kerumah ia menyapanya dengan membuatkan segelas air teh hangat.
    Li adalah kesopanan yaitu cara bagaimana seharusnya segala sesuatu harus dilakukan. Pengetahuan tentang bagaimana cara bersikap anggun dan beradab dalam keadaan bagaimanapun juga.
    Te adalah kekuatan untuk memrintah manusia maksudnya adalah memerintah tanpa kekerasan. Konfusius mengatakan bahwa rakyat tidak mungkin akan sejahtera jika pemimpinnya mempunyai sikap yang tidak baik pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang bebas dari kekerasan. Te sesungguhnya terletak pada kekuatan yang terkandung dalam teladan moral.
    Wen berkaitan dengan musik, seni lukis, puisi dan budaya dalam bentuk yang estetis. Konfusius sangat menghargai seni beliau mengatakan bahwa wen bukan penghargaannya terhadap kesenian itu sendiri akan tetapi pada wawasannya dalam relevansinya untuk hubungan internasional. Konfusius berpendapat bahwa kemenangan akhir suatu Negara terletak pada Negara yang mengembangkan wen yang paling tinggi, peradaban yang paling mulia yaitu negara yang mempunyai kesenian yang paling halus dan syair yang paling hebat.
    Jen, Chun Zhu, Li, Te dan Wen yaitu kebaikan, sang tuan, kesopanan, pemerintahan yang arif dan bijaksana dan seni perdamaian adalah nilai_nilai yang dicintai konfusius.
2.    Taoisme
a.    Taoisme berasal dari seorang yang bernama Lao tzu lahir tahun 640 SM. Lao tzu mempunyai arti putra tua, sahabat tua dan sang guru tua. Lao tzu membuat buku yang berjudul Tao Te Ching (jalan dan kekuatan).
b.    Tiga Makna Tao
Tao secara harafiah adalah jalan, namun ada tiga makna untuk memahami jalan ini, yaitu:
    Tao adalah jalan dari kenyataan akhir. Tao dalam arti pertama tidak dapat diketahui tetapi hanya dengan melalui kesadaran mistik yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata.
    Tao adalah jalan alam semesta sebagai kaidah, irama dan kekuatan pendorong seluruh alam.
    Tao adalah jalan bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya agar dapat selaras dengan cara kerja alam semesta. Adanya yin dan yang.
c.    Tiga Tafsiran Kekuatan Taoisme
    Dalam taoisme salah satu dasar untuk mendekati kekuatan dasar alam semesta ini adalah melalui ilmu gaib. Dari cara pendekatan terhadap kekuatan tao ini lahirlah Taoisme Rakyat yaitu taoisme yang dianut oleh rakyat banyak.
    Pendekatan kedua terhadap kekuatan alam semesta adalah dengan mistik. Dari pendekatan ini muncul bentuk kedua taoisme yaitu Taoisme Esoterik. Taoisme esoteric menyangkut tentang te, kekuatan yang menyatukan seluruh masyarakat. Kekuatan ini bersifat psikis yaitu dengan merubah keheningan melalui praktek-praktek yoga (duduk dengan pikiran tenang melatih nafas).
    Pendekatan yang ketiga yaitu taoisme ditafsirkan secara magis (seperti taoisme rakyat  tetapi secara filosofis. Kekuatan tao adalah kekuatan yang memasuki suatu kehidupan yang secara reflekssif dan intuitif telah mnyatukan dirinya dengan jalan alam semesta. Taoisme Filosofis ini merupakan suatu pandangan yang mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap kehidupan orang cina. 
d.    Dasar Ajaran Taoisme
Lao Tzu mengatakan dasar ajaran taoisme ada dalam buku yang berjudul Tao Te Ching di mana ajaran taoisme adalah tentang memahami alam semesta melalui ilmu gaib (magis) dan mistik. Taoisme tidak bisa dinalar hanya dengan panca indera tetapi dari dalam diri (kekuatan). Ajaran Taoisme mengajarkan tentang bagaimana manusia dapat hidup selaras dengan alam. Keseimbangan yang dijaga seperti adanya yin dan yang.
C.    Kesimpulan
Konfusianisme dan taoisme merupakan dua pandangan asli cina. Konfusius mewakili pandangan klasik sedangkan taoisme mewakili pandangan romantik. Konfusius menekankan rasa tanggung jawab sosial dan mefokuskan pada manusia sedangkan lao tzu lebih menekankan pada sifat alamiah dan apa yang ada di balik manusia.


Referensi :
    Smith, Huston. 2001. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
    Tim Penyusun. 2003. Kapita Selekta. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi.
    Fellows, Ward J. 1998. Religions East and West. United State of America: Thomson Learning, Inc.
BUDDHISME SUKHAWATI

BUDDHISME SUKHAWATI

3:56 PM Add Comment



A.    Latar Belakang
Buddhisme merupakan salah satu bagian dari berbagai macam agama-agama dunia yang mempunyai berbagai aliran , karakteristik dan tradisi yang berbeda. Walaupun asalnya sama yaitu dari daerah India akan tetapi karena berbagai factor sehingga terpecah-pecah menjadi banyak aliran. Karena asal usulnya sama maka tidak dibenarkan jika kita menghakimi aliran atau tradisi lainnya sebagai sesuatu yang salah dan yang paling benar adalah tradisi kita.  Salah satu tradisi atau aliran yang ada adalah mengenai Buddhisme Sukhawati.
B.     Buddhism Sukhawati (Chin-Tu)
            Dari sekitar akhir Dinasti Utara dan Selatan (317-589), Buddhism Sukhawati (Pure Land), dengan penekanannya mengenai latihan nien-fo , memohon dengan khusuk dengan menyebut nama Buddha Amitabha agar supaya terlahir di Sukhawati juga secara luas diterima. Tan- Luan (476-542), Tao-Cho (562-645) Shan-Tao (613-811), tiga guru terdahulu dari sekte Sukhawati yang mendapatkan kepopuleran melatih nien-fo, semua mengerti spiritual, tanpa rintangan dari ketidak benaran dengan interpretasi halus dari setiap kaata yang terkandung di dalamnya.
            Dari banyak sekte Buddhis suatu waktu popular di Cina, hanya sekte Ch’an (Zen; Dyana) dan Chin- Tu (Sukhawati) masih tumbuh berkembang sampai dengan hari ini, dengan survival mereka dapat dihubungkan dengan kepraktisan dan kesucian dari pendekatan mereka terhadap sutranya.
C.    Buddha Amitabha
Amitābha adalah Buddha cinta kasih tanpa batas. Beliau tinggal di barat (digambarkan dalam posisi meditasi) dan berupaya untuk mencerahkan setiap makhluk (digambarkan dalam posisi memberi berkah). Teknik paling penting yang beliau ajarkan adalah memvisualisasikan seluruh alam di sekitar sebagai tanah suci. Siapapun yang melihat dunianya sebagai tanah suci akan membangkitkan energi pencerahannya. Dunia dapat terlihat sebagai tanah suci dengan jalan menyatukan pikiran-pikiran positif (pikiran pencerahan) atau dengan mengirimkan cinta kasih kepada semua makhluk (berharap semua makhluk berbahagia). Menurut doktrin Amitabha, seseorang dapat datang ke tanah suci Amitābha jika pada saat menjelang kematiannya, mereka memvisualisasikan Amitābha bercahaya terang seperti matahari tepat di atas kepala mereka, mengulang-ulang nama beliau sebagai mantra dan melepaskan jiwa (kesadaran) melalui cakra mahkota.
Akar kata dari nama Amitābha dalam Bahasa Sanskerta adalah Amitābha, maskulin, dan bentuk nominatif singularnya adalah Amitābhaḥ. Ini merupakan penyusun kata Sanskrit amita ("tanpa batas, tak terhingga") dan ābhā ("cahaya, kemilau"). Dengan demikian, nama tersebut dapat diinterpretasikan sebagai "ia yang memiliki cahaya tanpa batas, ia yang kemilaunya tak terhingga".
 Amitāyus (bentuk nominatif Amitāyuḥ) juga digunakan untuk wujud Sambhogakāya Amitabha, terutama yang berkaitan dengan umur panjang. Beliau seringkali digambarkan dalam posisi bersila dan membawa mangkuk berisi nektar keabadian. Amitayus juga merupakan salah satu dari tiga makhluk suci yang berkaitan dengan panjang umur, selain Tara Putih dan Ushnishavijaya. Amitāyus merupakan gabungan dari amita ("tak terhingga") dan āyus ("hidup"), sehingga memiliki arti "Ia yang usianya tanpa batas".
Buddha Amitabha dalam bahasa China diterjemahkan menjadi Āmítuó Fó, dimana Āmítuó menampilkan tiga aksara Amitābha atau Amitāyus, dan Fó adalah bahasa China untuk Buddha (diambil dari suku kata pertama Buddha dalam bahasa Sanskerta). Nama Amitābha disebut sebagai Wúliàngguāng ("Cahaya Tanpa Batas"), sementara nama Amitāyus sebagai Wúliàngshòu ("Usia Tanpa Batas"). Kedua nama yang terakhir itu jarang digunakan.
Amitabha (Amitofo) merupakan kata yang sudah tidak asing kita dengar.. Kata Amitabha atau Amitayus, disampaikan oleh Buddha Gautama dalam Sutra Amitabha. Berikut ini adalah kitipan dari Sutra Amitabha yang menjelaskan tentang makna dari nama Amitayus:
“Dari panjangnya usia Hyang Bhagava Amitabha, Hyang Tathagata. Oh Ananda, tidaklah terukur, sehingga sulit untuk diketahui lainnya, agar dapat dikatakan (bahwa itu meliputi) begitu banyak ratusan kalpa, begitu banyak ribuan kalpa, begitu banyak ratusan ribu kalpa, begitu banyak berkoti-koti kalpa, begitu banyak ratusan koti kalpa, begitu banyak ribuan koti kalpa, begitu banyak ratusan ribu koti kalpa, begitu banyak ratusan ribu niyuta koti kalpa. Karenanya, Hyang Tathagata itu disebut Amitayus.”      
            Menurut Sutra Kehidupan Tanpa Batas atau Sutra Agung Kehidupan Tak Terhingga (Mahāyāna Amitāyus Sūtra), Amitābha dulunya, pada masa yang sangat lampau dan kemungkinan pada solar sistem yang lain, seorang bhikku bernama Dharmakāra. Pada beberapa versi dari sūtra, Dharmakāra digambarkan sebagai mantan raja yang, setelah mendengar ajaran dari Buddha Lokesvararaja, meninggalkan tahtanya. Ia kemudian berketetapan hati untuk menjadi seorang Buddha dan memiliki sebuah buddhakṣetra ("tanah suci Buddha", suatu alam yang terdapat di alam semesta primordial di luar (Ruang dan Waktu biasa, dihasilkan dari kumpulan pahala yang dikumpulkan sang Buddha) dimana segala isinya sempurna. Ketetapan hati tersebut tertuang dalam 48 Sumpah Amitabha, menggambarkan jenis tanah suci Buddha seperti apa yang diaspirasikan oleh Dharmakāra, persyaratan seperti apa agar dapat terlahir di sana, dan wujud setiap makhluk yang terlahir di sana. Diantara 48 Sumpah tersebut, ada tiga ikrar atau sumpah yang paling utama yaitu:
  1. Saya bersumpah bahwa makhluk-makhluk hidup yang ada di sepuluh penjuru mata angin, yang mempercayai ajaran Buddha, Saya usahakan agar semuanya dapat dilahirkan di Tanah Suci ini. Apabila diantara mereka masih masih ada yang belum dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu, Saya tidak akan mau menikmati hasil Pencerahan Agung (Pencapaian Nirvana) secara sempurna, yang telah Saya capai.
  2. Saya bersumpah bahwa makhluk-makhluk yang telah berusaha dengan segenap kemampuan jiwanya untuk mencapai tingkat Ke-Bodhi-an, dan yang telah melatih diri untuk memiliki, memelihara, dan meningkatkan jasa-jasa kebaikan dan kebajikannya, Saya usahakan agar semuanya dapat dilahirkan di Tanah Suci Saya itu. Pada saat-saat menjelang kematiaannya, maka makhluk tersebut akan dikelilingi oleh Para Penolong Gaib (yang akan mengantarkan orang-orang yang telah meninggal dunia itu, ke Tanah Suci atau Surga ciptaan Saya itu). Apabila diantara mereka masih masih ada yang belum dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu, Saya tidak akan mau menikmati hasil Pencerahan Agung (Pencapaian Nirvana) secara sempurna, yang telah Saya capai.
  3. Saya bersumpah bahwa makhluk-makhluk hidup yang ada di sepuluh penjuru mata angin, yang mendengar nama Saya, yang telah memikirkan mengenai Tanah Suci yang Saya ciptakan, dan telah merencanakan akan berbuat kebajikan-kebajikan, Saya usahakan agar mereka itu dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu. Apabila diantara mereka masih masih ada yang belum dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu, Saya tidak akan mau menikmati hasil Pencerahan Agung (Pencapaian Nirvana) secara sempurna, yang telah Saya capai
Doktrin dasar mengenai Amitābha dan sumpah-sumpahnya ditemukan pada tiga kanonikal teks Mahāyāna:
  • Sutra Kehidupan Tanpa Batas/Sutra Panjang Sukhāvatīvyūha
  • Sutra Amitabha/Sutra Pendek Sukhāvatīvyūha
  • Sutra Perenungan/Sutra Amitāyurdhyāna
Melalui usahanya, Amitābha menciptakan "Tanah Suci" (, pinyin: jìngtŭ; Jepang: jōdo; Vietnam: tịnh độ) yang disebut Sukhāvatī (Sanskerta|Sanskrit) atau "Tanah Kebahagiaan"). Sukhāvatī berlokasi jauh di barat di luar tata surya kita. Dengan kekuatan sumpahnya, Amitābha membuatnya memungkinkan bagi siapapun yang menyebut namanya untuk terlahir kembali pada alamnya, memperoleh bimbingan dharma dari dirinya demi mencapai kebodhisatwaan dan pada akhirnya kebuddhaan (tujuan akhir Mahāyāna Buddhisme). Dari sana, para Bodhisatwa dan Buddha tersebut akan kembali ke bumi untuk menolong lebih banyak makhluk. 
            Sekarang , yang menjadi pertanyaan, bagaimana agar dapat terlahir di Tanah Suci ini?
“Karena tekad lampau (purva-pranidhana) Ku, maka makhluk-makhluk yang dengan cara apapun pernah mendengar nama-Ku, selamanya akan pergi ke negeri-Ku (tanah suci Sukhavati). Tekad-Ku, yang mulia ini telah tercapai dan setelah makhluk-makhluk dari berbagai alam datang kemari ke hadapan-Ku, mereka tak akan pernah berlalu dari sini, meskipun hanya untuk satu kelahiran.” (Mahasukhavativyuha Sutra 50:17)
            Selain itu, di dalam Amitayurdhyana Sutra, dijelaskan beberapa hal yang dapat menyebabkan kita terlahir di Sukhavati. “Jenis kelahiran mulia (dalam alam Sukhavati) tingkat tinggi dapat dicapai oleh mereka yang di dalam pencarian mereka untuk terlahir di sana, telah mengembangkan tiga macam pikiran. Engkau mungkin akan bertanya apakah ketiga macam pikiran itu:
  1. Pikiran yang tulus,
  2. Pikiran yang penuh keyakinan,
  3. Pikiran yang terpusat pada tekad untuk terlahir di alam Sukhavati dengan mempersembahkan segenap kumpulan kebajikan yang mengakibatkan kelahiran kembali di sana.           
                Mereka yang telah menyempurnakan ketiga macam pikiran ini pasti akan terlahir di alam Sukhavati.
D.    Kesimpulan
Sukhawati merupakan sebuah alam yang diciptakan oleh Buddha Amitabha untuk siapapun. Dimana ditempat itulah siapapun akan mendapatkan pengajaran dari Buddha Amitabha untuk menjadi Bodhisatva dan mencapai Kebuddhaan. Karena pada dasarnya setiap orang mempunyai benih-benih Kebuddhaan. Dengan pikiran tulus serta tekad yang kuat seseorang dapat terlahir ditempat itu.

REFERENSI
·         T, Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Amitabha (Diakses tanggal 31 Maret 2014)