infeed1

AGAMA BUDDHA DAN POLITIK

4:02 PM
A.    Latar Belakang

Politik adalah suatu hal yang tabu yang dialami umat Buddha karena tidak semua umat Buddha mengetahui apa itu politik dan seluk beluknya. Kebanyakan dari mereka berbicara politik ketika terjadi kasus yang kaitannya dengan pejabat-pejabat politik dan pembiacaraan politik ini merupakan pembicaraan paling asyik ketika sedang berkumpul. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia, kita tidak bisa terlepas dalam politik. Semua apapun yang dilakukan ada yang berbau politik. Bahkan anak-anak pun sebenarnya tanpa disadari sudah terlibat sudah terlibat pada politik. Misalnya ketika sedang bermain atau disekolah ada yang dipilih menjadi ketua kelas.

Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi masyarakat Indonesia karena di tahun inilah pesta demokrasi atau pemilu dilaksanakan. Banyak masyarakat menginginkan perubahan yang positif ditahun ini setelah terpilihnya pemimpin baru. Namun kenyataannya berbeda dengan yang mereka harapkan karena banyak orang yang menginginkan untuk ikut menyalurkan aspirasi masyarakat dengan cara menjadi caleg (calon Legislatif) hanya untuk merubah nasib. Nasib disini bukan nasib masyarakatnya akan tetapi nasibnya sendiri sehingga sekarang banyak dari kalanagn masyarakat biasa sampai para tokoh, artis, olah ragawan ikut nyaleg.

Menjadi anggota DPR sekarang memang mudah karena semakin banyaknya partai- partai yang mengikuti pemilu. Dari partai yang nasionalis seperti PDI-P, Partai Demokrat sampai yang agamis seperti PPP, PKS, dan PKB. Akan tetapi jika dilihat dari latar belakangnya apakah mereka yang menjadi caleg mampu untuk mengemban amanat rakyat?. Mungkin untuk partai nasionalis memang masih bisa diperhitungkan akan tetapi bagaimana dengan partai yang berbasis agama?

Usaha untuk mencampuradukkan agama dengan politik pun sering terjadi. Padahal, kalau dilihat agama berdasarkan pada moralitas, kemurnian, dan keyakinan, sedangkan dasar politik adalah kekuatan. Dilihat dari sejarah masa lalu, agama telah sering digunakan untuk memberi hak bagi orang-orang yang berkuasa. Agama digunakan untuk membenarkan perang dan penaklukan, penganiayaan, kekejaman, pemberontakan, penghancuran karya~karya seni dan kebudayaan. Ketika agama.digunakan sebagai perantara tindakan-tindakan politik, agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral yang tinggi dan derajatnya direndahkan oleh kebutuhan-kebutuhan politik duniawi.

                                                                        (Dhammananda (2002;333)

B.     Pengertian Politik

Politik /po·li·tik/ n 1 (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). (KBBI)

Semantara itu politik menurut Wikipedia dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara, adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Jadi, Politik adalah pengetahun mengenai ketatanegaraan atau kepemerintahan atau yang berkaitan dengan warga Negara.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

·         politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)

·         politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara

·         politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat

·         politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
C.    Perilaku politik

Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:

·         Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin

·         Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat

·         Ikut serta dalam pesta politik

·         Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas

·         Berhak untuk menjadi pimpinan politik

·         Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku

Perilaku-perilaku itu biasanya sudah diatur dalam undang-undang. Akan tetapi karena sifatnya tidak mengikat maka yang melanggar pun tidak akan dihukum. Misalnya dalam pemilu ada yang golput (tidak memilih) maka tidak ada sanksi yang berarti. Memang sebagai warga Negara tidak ada sanksi khusus terutama mengenai pelanggaran itu, akan tetapi sebagai warga Negara yang baik tentunya mempunyai hak untuk menentukan masa depan bangsa sehingga tidak ada salahnya jika mengikuti pesta demokrasi itu.

D.    Para Bhikkhu Yang Terlibat Politik

Sang Buddha merupakan biarawan pertama yang melepasakan keduniawiannya. Bahkan beliau tidak mau ketika diminta ayahnya untuk kembali ke kerajaan dengan dijanjikan diberikan separuh luas kerajaan tetapi beliau tetap tidak mau. Sang Buddha tetap teguh pada pendirian untuk mencapai tujuannya dalam menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu.

Dalam kehidupannya sebagai Buddha beliau tidak terlibat dalam politik. Akan tetapi, beliau sering menjadi penengah masalah yang berbau politik antara dua penguasa kerajaan yang bertikai. Beliau membantu menyelesaikan masalah yang ada dan menjadi pembimbing spiritual bagi para raja yang terlibat politik. Beliau tidak terlibat dalam penyelesaian dan pergulatan politik.

Misalnya, saat suku Koliya dan Sakya hendak berperang demi penggunaan air sungai, Sang Buddha membujuk mereka agar tidak melakukannya. Saat raja Ajattasattu mencoba menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan pesan dengan cara melakukan percakapan dengan Ananda di depan menteri raja Ajattasattu, bahwa suku Vajji tidak dapat ditaklukkan. Dengan demikian Sang Buddha meyakinkan Raja untuk membatalkan rencananya. Dalam dua kesempatan, Sang Buddha menghentikan majunya bala tentara raja Vadidabu yang hendak menghancurkan suku Sakya dengan bermeditasi di bawah pohon kering.

Keterangan singkat di atas menunjukkan dua poin penting:

1)      Para biarawan dapat mendidik para raja dan menteri (para politisi) dengan mengajarkan Dhamma kepada mereka, menjadi penengah dalam berbagai permasalahan politik dan melindungi hak-hak para warganegara pada saat diperlukan.

2)      Para biarawan tidak terlibat sebagai pribadi dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Mereka juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik. Dengan kata lain, para biarawan boleh terlibat dalam politik tetapi harus dibatasi. Mereka tidak boleh menjadi politisi. (Ang Choo Hong: 2004)

            Sekarang kita terkadang mendengar bhikkhu sering mengikuti politik dan hal ini mereka dikuatkan dalam kitab suci. Bhkkhu harus tetap focus menjalani kehidupan sucinya karena politik identic dengan profesi. Misalnya di Indonesia politik identic dengan menjadi anggota DPR, DPRD, DPD atau bahkan menjadi presiden. Jika bhikkhu terlibat dalam pergulatan politik maka tentunya kualitas diri dan batinnya akan terganggu.

            Dalam artikelnya, Ang Choo Hong menyatakan bahwa ada alasan-alasan mengapa ada bhikkhu atau biarawan yang terlibat dalam politik, yaitu:

1)      Hal itu disebabkan oleh sejarah politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet.

2)      Mereka yang tidak mempunyai pilihan lain karena lingkungan politik tempat mereka berada. Misalnya, apabila mereka dipilih oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menjabat sebagai menteri, wakil rakyat, anggota badan legislatif, dll.

3)      Mereka yang dengan tulus hendak mengabdi pada kepentingan Buddhisme tetapi mereka tidak mempunyai pengertian yang mendalam tentang Ajaran Sang Buddha dan pengertian tentang politik. Maka hal ini membingungkan peran mereka sendiri.

4)      Mereka yang mengenakan jubah kuning tetapi mempunyai karakter yang egois. Mereka menginginkan perhatian dari orang lain.

Agama Buddha tidak membenarkan bhikkhu atau biarawan terlibat dalam pergulatan politik. Jika semua bhikkhu terlibat dalam politik yang penuh dengan keegoisan dan kekuasaan, maka agama Buddha bisa hancur karena tidak ada lagi yang mampu menjaga Dhamma Vinaya dengan benar.

E.     Politik Menurut Agama Buddha

Politik dan kekuasaan di dalam Buddhist dipahami seperti sebuah kereta yang  tergantung kepada kedua rodanya, yakni roda kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka). Bila roda kekuasaan tidak dikendalikan oleh penguasa dengan baik, maka akan menjadi kekuasaan yang korup, dan dalam kondisi ini Sangha atau komunitas spiritual, harus mengimbanginya dengan roda kebenaran.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch, Abdullah Dahlan, Rabu, 2 April 2014, mengatakan korupsi politik di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode justu lebih dominan. (Vivanews.co.id)

Pendekatan agama Buddha terhadap politik adalah moralisasi dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'.

Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicaramenentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata, "Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik". (Anguttara Nikaya).

Di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan malalui kekuatan, takkan berhasil.

Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan10 aturan untuk pemerintahan yang baik, yang dikenal sebagai "Dasa Raja Dhamma". Kesepuiuh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya. Peraturan-peraturan tersebut sebagai berikut :

1)      Bersikap bebas/tidak picik dan menghindari sikap mementingkan diri sendiri.

2)      Memelihara suatu sifat moral tinggi.

3)      Siap mengorbankan kesenangan sendiri bagi kesejahteraan rakyat.

4)      Bersikap jujur dan menjaga ketulusan hati.

5)      Bersikap.baik hati dan lembut.

6)      Hidup sederhana sebagai teladan rakyat.

7)      Bebas dari segala bentuk kebencian.

8)      Melatih tanpa kekerasan.

9)      Mempraktekkan kesabaran, dan

10)  Menghargai pendapat masyarakat untuk meningkatkan kedamaian dan harmoni.

Mengenai perilaku para penguasa, Beliau lebih lanjut menasehatkan:

o   Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tidak berat sebelah terhadap rakyatnya.

o   Seorang penguasa yang baik harus bebas.dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya.

o   Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apa pin dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan.

o   Seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan. Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum. Dan.dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran sehat, (Cakkavati Sihananda Sutta)

Dalam Milinda Panha dinyatakan: Jika seseorang yang tidak cocok, tidak mampu tidak bermoral, tidak layak, tidak berkemampuan, tidak berharga atas kedudukan sebagai raja, telah mendudukkan dirinya sendiri sebagai seorang raja atau seorang penguasa dengan wewenang besar, dia akan menjadi sasaran penyiksaan. Menjadi sasaran berbagai macam hukuman oleh rakyat. Karena dengan keberadaannya yang tidak cocok dan tidak berharga, dia telah menempatkan dirinya secara tidak tepat dalam kedudukannya. Sang penguasa seperti halnya orang lain yang kejam dan melanggar moral etika dan aturan dasar dari semua hukum-hukum sosial umat manusia, adalah sebanding sebagai sasaran hukuman dan lebih lagi, yang pantas menjadi kecaman adalah penguasa yang berbuat sendiri sebagai seorang perampok masyarakat. Dalam suatu cerita Jataka, disebutkan bahwa seorang penguasa yang menghukum orang yang tidak bersatah dan tidak menghukum orang telah melakukan kejahatan, tidak cocok untuk mengatur suatu negara.

Raja yang selalu memperbaiki dirinya sendiri dan secara hati-hati memeriksa tingkah lakunya baik perbuatan, ucapan dan pikiran, mencoba untuk rnenemukan dan mendengar pendapat publik apakah dia telah bersalah atau tidak atas kesalahan atau kekeliruan dalam mengatur kerajaannya. Jika ditemukan bahwa dia telah mengatur secara tidak benar, masyarakat akan mengeluh bahwa mereka telah dihancurkan oleh penguasa yang jahat dengan perlakuan yang tidak adil, hukuman, pajak, atau tekanan-tekanan lain termasuk korupsi dalam segala bentuk, dan mereka akan bereaksi menentangnya dalam satu atau lain cara. Sebaliknya, jika seorang penguasa mengatur dengan cara yang benar mereka akan memberkahinya dengan "Panjang umur Yang Mulia" (Majjhima Nikaya)

Penekanan Sang Buddha pada tugas moral dari seorang penguasa untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat telah mengilhami Raja Asoka pada abad ketiga Sebelum Masehi untuk berbuat demikian. Raja Asokaa, contoh seorang raja berhasil dengan prinsip ini, berketetapan untuk hidup menurut Dhamma dan mengkhotbahkan Dhamma serta melayani rakyatnya dan semua umat manusia. Dia mengajarkan tanpa kekerasan kepada tetangga-tetangganya, meyakinkan mereka dan mengirim utusan
kepada para raja membawa pesan perdamaian dan tanpa agresi. Dengan penuh semangat mempraktekkan kebajikan moral, .kejujuran, ketulusan, welas asih, kebaikan hati, tanpa kekerasan, penuh perhatian dan toleransi terhadap semua manusia, tidak tinggi hati, tidak tamak, dan melukai binatang. Beliau mendorong kebebasan beragama dan secara berkala.membabarkan Dhamma kepada orang-orang di pedalaman. Beliau menangani pekerjaan kebutuhan masyarakat, seperti: mendirikan rumah sakit-rumah sakit untuk manusia dan binatang, memasok obat-obatan, menanam hutan-hutan kecil dan pohon-pohon di tepi jalan, menggali sumur-sumur, dan membangun tanggul-tanggul air dan rumah-rumah peristirahatan. Beliau juga melarang bertindak kejam terhadap binatang-binatang.

F.     Kesimpulan

 Tujuan Buddha Dhamma tidak diarahkan pada penciptaan lembaga-lembaga politik baru dan menyusun rencana-rencana politik. Pada dasarnya, agama mencari pendekatan masalah-masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat tersebut dan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun ke arah nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Betapapun, ini tidak berarti bahwa agama Buddha tidak dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik. Biarawan atau bhikkhu hanya bisa membantu menyelesaikan permasalahan- permasalahan politik dengan cara menanamkan nilai-nilai Buddhisme.

Sebagai warga Negara, kita juga berhak membangun bangsa ini. Sekalipun berbeda- beda suku atau agama, semuanya berhak untuk membangun Negara ini. Karena sekarang Negara kita ini membutuhkan tenaga yang kompeten dan mempunyai loyalitas tinggi untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat. Hidup kita  memang tidak bisa terlepas dari politik yang penuh kebohongan dan permainan akal pikiran. Akan tetapi, paling tidak jika kita mampu mempraktikkan ajaran Sang Buddha dengan sungguh-sungguh maka hal ini akan mengimbangi apa yang pernah kita lakukan.

Mungkin kita dapat belajar sesuatu dari kecerdikan Gereja Katolik di Philipina. Gereja di sana tidak terlibat dalam partai politik apapun. Tetapi mereka aktif menyuarakan penderitaan rakyat dan mengangkat berbagai persoalan yang terkait. Dengan melakukan tindakan seperti itu, Gereja menjadi suatu grup yang sangat berpengaruh. Partai-partai politik pemerintah dan oposisi semuanya harus memperhatikan tekanan yang digunakan oleh Gereja. Umat-umat awam mungkin dapat terpecah dalam penafsiran mereka atas pesan Gereja, selanjutnya bergabung dan mendukung partai-partai yang berbeda, tetapi mereka semua akan setuju dengan Gereja. Sementara itu Gereja tidak terpecah belah.



Referensi

o   http://kbbi.web.id/politik (Diakses tanggal 22 April 2014)

o   http://id.wikipedia.org/wiki/Politik (Diakses tanggal 22 April 2014)

o   http://politik.news.viva.co.id/news/read/493627-icw---korupsi-politik-di-era-sby-lebih-dominan (Diakses tanggal 22 April 2014)

o   Dhammananda, Sri. 2002. Keyakinan Umat Buddha. ------: Yayasan Penerbit Karaniya.

o   Hong, Ang Choo. 2004. Saat Para Biarawan Terjun Dalam Politik. Malaysia:---http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/bhikkhu-dan-kegiatan-politik/ ( diakses tanggal 06 Mei 2014)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »